Assalamu’alaikum
sobat,
Cerpen berikut menceritakan tentang sekelompok pejuang 45 yang tak terlihat tapi sangat berjasa. cerpen ini adalah buah pemikiran dari 5 orang yang tergabung dalam satu kelompok guna memenuhi tugas Bahasa Indonesia. satu hal yang sangat saya tekankan di sini, Cerita ini Hanya Fiktif Belaka.Selamat membaca...
TAKE OUT WITH FULL CREDIT
RCL yaaa...
###
![]() |
cr : google |
SUARA DALAM KOTAK
Suara penyiar radio mengalun pelan menyibak
keheningan di ruang tengah, seorang lelaki berpostur tegap duduk santai
memandang ke arah jendela.
“ Bapak melamunkan apa?” Suara lembut istrinya
membuyarkan lamunan lelaki itu. Ia hanya menoleh tanpa menjawab.
“Karti tutup ya pintunya, dingin.”
“Jangan, sebentar lagi akan ada yang datang.”
Cegah lelaki itu.“Teman lama kita akan berkunjung.” Tambahnya.
Cegah lelaki itu.“Teman lama kita akan berkunjung.” Tambahnya.
Kemudian perempuan itu melangkah kembali ke
dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara salam dari luar.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, masuk-masuk!”
Lalu tiga wanita yang hampir seumuran menenteng
bungkusan di tangan masuk ke rumah. Setelah berjabat tangan mereka duduk,
rupanya mereka adalah teman lama Amin dan Karti. Amin adalah seorang pejuang
45, sedangkan istrinya, Karti, dan tiga temannya, Tri, Uus, dan Isah adalah
penyiar radio.
Di
luar, rintik hujan berubah semakin deras, suaranya terdengar seperti hentakan
sepatu tentara yang tengah beradu dengan tanah. Aroma tanah yang khas membuat
suasana yang mulanya dingin serasa hangat, hal ini membawa mereka kedalam
kenangan empat puluh tahun yang lalu. Ketika kisah mereka dimulai.
****
Jakarta, Agustus 1945.
Seorang
gadis berusia dua puluhan, Tri namanya, sedang sibuk mengudara di sebuah radio
swasta. Sudah satu bulan ini materi yang ia bahas nyaris stagnan,
perihal kemelut perang dunia jilid dua antara Sekutu dan Jepang yang tak
kunjung mengisyaratkan titik terang. Para anggota radio tampak serius mengulang
permasalahan yang sama dalam percakapan mereka.
“Sampai kapan dua serigala ini mau bertarung?
Tak sanggup lagi nuraniku melihat jiwa jiwa tak bersalah harus menanggung pilu,
merasa tak aman meski di gubuk sendiri.” Keluh Isah, sang ketua organisasi, menanggapi
topik bahasan anak buahnya yang sedang mengudara.
“Keduanya nyaris tak punya kelemahan, Jepang
dan Sekutu sama-sama haus kekuasaan. Tapi, taukah Kakak, aku dengar semakin
hari Jepang semakin kewalahan.” Sahut Karti, anak buahnya, yang juga sedang
membolak-balik surat kabar yang baru ia dapatkan dengan susah payah dari
percetakan dekat jembatan, sekitar 120 meter dari markas radio ini. Percetakan
itu milik Jepang, hanya orang-orang merekalah yang berhak mendapatkan pelayanan
di sini. Tak ayal Karti harus berpura-pura menjadi sekutu Jepang setiap kali
ingin mendapat informasi dari surat kabar yang terbit sekali dalam seminggu.
“Sudah kuduga, rupanya Jepang harus bersiap
menelan pil pahit kekalahan mereka atas Sekutu.” Sahut Maria.
“Braakkk!” Dari luar terdengar seorang
mendorong pintu sembarangan, seorang gadis yang seumuran berkacmata tebal
menyerobot masuk dengan tergesa-gesa. Peluhnya menetes ke mana-mana, ia
kesulitan mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Cepat!.... Radionya!..” Seru Uus kepada
rekan-rekannya.
“Hei! Hei! Tenangkan dulu dirimu!” Timpal Maria
sambil mengambilkan segelas air putih.
“Radionya!.. Nyalakan radionya!...Tak ada waktu
lagi, kata mereka Jepang menyerah, Jepang kalah!”
“Benarkah?! Kalau begitu kita harus segera
menyiarkannya.” Ujar Isah sembari bergegas memasuki ruang siaran merebut mic
dari tangan Tri.
“Hentikan!” Tiba-tiba segerombolan tentara
Jepang memaksa masuk dan menyandera Maria yang berdiri tak jauh dari pintu
utama stasiun radio itu.
Tentra-tentara
Jepang itu mengancam akan menembak kepala Maria jika anggota radio tetap
bersikeras menyiarkan berita kekalahan Jepang atas Sekutu. Tak hanya itu, jika
perlu mereka akan mengebom stasiun radio mereka.
“Abaikan aku! Berikan kabar gembira untuk
rakyat Indonesia!” Seru Maria.
“Dorrr!” Benar saja, tentara itu menembak tepat
di kepala Maria. Jerit tangis terdengar dimana-mana. Jepang juga merampas dan
menghancurkan alat-alat yang ada di stasiun radio itu hingga tak tersisa lalu
meninggalkannya tanpa rasa iba sedikitpun.
Maria
terbaring lemah di pangkuan Uus, darah segar mengalir deras dari luka tembakan
tadi.
“Bertahanlah, Maria! Kau akan selamat, bertahanlah!”
Suara Tri terdengar parau, akan tetapi Maria memang harus berhenti sampai di
sini, ia gugur.
Isah tak terima anak buahnya menjadi korban
kebiadaban Jepang. Isah merasa masih memiliki kewajiban untuk menyampaikan
pesan morse yang didapat Uus dari koleganya, Ram yang bekerja sebagai jurnalis
Sekutu. Selama ini, Ram diam-diam berbagi info-info terbaru tentang Sekutu dan
Jepang kepada Uus, melalui huruf morse dengan harapan tak ada pihak Jepang yang
mencurigainya.
Isah
menugaskan Karti untuk menemui pemimpin pejuang di markas pejuang tanah air. Ia
ingin bekerja sama dengan para pejuang untuk menyampaikan berita kekalahan
Jepang kepada Ir. Soekarno karena Isah merasa jika ia dan anak buahnya, yang
semuanya perempuan, tak sanggup bila harus bergerilya sendiri menghadapi
hadangan-hadangan dari Jepang, bisa-bisa mereka gugur sebelum berita itu sampai
kepada Soekarno.
Karti
pergi menemui pemimpin pejuang divisi IV, Amin. Mengendarai sepeda onthel
miliknya, Karti mengayuhnya kuat-kuat melewati jalan-jalan yang tidak dilalui
Jepang. Sedikit lebih jauh memang, tetapi lebih aman. Penampilannya sudah tak
karuan ketika sampai di markas pejuang tanah air. Segera dihampirinya Amin yang
berada tak jauh dari tempatnya memarkir sepeda. Karti mengajaknya bicara berdua
dibawah pohon rambutan, setelah selesai menyampaikan maksudnya, Karti pamit
pulang.
“Berhati-hatilah!”
“Ya, kau juga.”
Amin
mulai mengumpulkan golongan muda untuk diajak berdiskusi perihal kekalahan Jepang
karena ia tahu bahwa golongan muda lebih berantusias untuk segera
menyelenggarakan proklamasi dan ini menjadi langkah tepat untuk memanfaatkan
momen vacum of power. Amin berhasil membakar semangat golongan muda
untuk segera melakukan proklamasi dan meraih kemerdekaan.
Golongan
muda berdiskusi dengan golongan tua perihal rencana proklamasi. Golongan muda
mendesak golongan tua untuk menyetujui rencana tersebut. Namun, golongan tua
bersikukuh enggan melaksanakan proklamasi sebelum mendapatkan persetujuan dari
pihak Jepang. Karena diskusi panjang malam itu berjalan alot dan tak kunjung
mendapat kata sepakat, meletuslah peristiwa Rengasdengklok.
“Kita harus membawa Soekarno pergi dari
Jakarta.”
“Kau benar, kita bisa membawanya ke
Rengasdengklok, disana kita bisa membujuk Soekarno tanpa sepengetahuan golongan
tua.”
“Tapi pakai apa? Jika kita gunakan mobil
pemerintah, akan memicu kecurigaan Jepang.”
“Pakai mobil RRI saja, aku sudah meminta izin
ketuanya, tapi mereka memaksa ikut.” Amin memberi solusi.
“Baiklah, biarkan mereka ikut. Toh tidak ada
cara lain.”
“Ya.”
Dini hari, 17 Agustus 1945.
Dengan
mobil operasional RRI, golongan muda membawa paksa Soekarno dari kediamannya. Setibanya
di Rengasdengklok, mereka segera melakukan rapat darurat mengenai proklamasi
kemerdekaan. Rapat berlangsung alot, hingga salah satu dari golongan tua
mengatakan bahwa dia berani menjamin kemerdekaan asalkan golongan muda mau
melepaskan Soekarno.
Jum’at, 17 Agustus 1945.
Proklamasi
dikumandangkan, Indonesia telah merdeka. Isah, Tri, Uus, dan Karti mengemasi
peralatan jurnalistik mereka ke dalam tas. Rekeman pembacaan proklamasi tidak
mereka masukkan karena akan segera disiarkan. Saat akan menyalakan mesin mobil,
kaca pintu mobil mereka diketuk, tiga tentara Jepang mengisyaratkan mereka
untuk keluar. Keempatnya keluar dari mobil dengan perasaan was-was.
“Serahkan rekaman itu! Atau kuledakkan kepala
wanita ini.” Kata tentara Jepang itu seraya mengarahkan pistol ke kepala Isah.
Tri, Uus, dan Karti tercekat. Mereka memutuskan memberikan rekaman proklamasi
itu dan segera dihancurkan oleh tentara-tentara Jepang tersebut. Setelah
menembakkan satu peluru ke udara, tiga orang tentara Jepang itupun pergi.
“Apa yang kalian lakukan? Itu benda yang lebih
berharga dari pada nyawaku.” Kata Isah sambil menatap mereka bertiga, tak
percaya, hampir saja ia menampar Uus tapi ditahan oleh Tri.
“Mau bagaimana lagi?” Jawab Uus tertunduk.
“Kalian semua tenanglah! Aku sudah
memperkirakan itu semua.” Sahut Tri.
“Maksudmu?” Tanya Karti tak paham.
“Aku tadi merekam dengan tape recorder
pribadiku, sebelum kembali aku tadi pergi ke halaman belakang rumah Soekarno untuk
menguburnya. Kita akan mengambilnya nanti malam.” Jelas Tri
“APA?” Seru ketiga temannya berbarengan.
“Kenapa nanti malam?” Tanya Uus.
“Untuk menghindari Jepang tentunya, kalian
pikir mereka akan diam saja siang-siang setelah proklamasi seperti ini?”
“Kerja bagus Tri.” Kata Isah.
“Ya, terimakasih.”
Malam
menjelang, bulan purnama bersinar lebih terang daripada senter yang dibawa Uus
dan Karti. Mereka hendak melancarkan siasat mereka, dengan dua buah cangkul di
tangan, Isah dan Tri mulai menggerongi tanah. Suatu benda keras terantuk
cangkul mereka, Isah dan Tri menghentikan ayunan cangkul mereka. Tangan Isah
meraih sebuah kotak kayu bergembok lalu membukanya dengan kunci yang diberikan
oleh Tri. Mata Uus dan Karti terbelalak ketika mengetahui isi kotak itu.
“Merdeka!!” Seru keempat gadis itu seketika.
Lalu mereka membalikkan badan hendak kembali ke stasiun radio.
“Cukup di sini langkah kalian! Serahkan kotak
itu dan kalian akan kubiarkan hidup.” Tiga orang berbadan tegap dengan membawa
senapan di tangan menghadang mereka.”
“Tidak!!!” Seru mereka berempat sambil
melangkah mundur. Uus yang sudah siap dengan kejadian ini meraih pistol dari
saku kirinya. “Kau yang akan mati.” Katanya sambil mengarahkan pistolnya ke
tentara Jepang itu. Tangan Uus bergetar hebat.
“Hahaha!!. Bagaimana kau akan menembak kami?
Memegang pistol saja kau tak becus!”
Isah, Karti, dan Tri hanya pasrah, mereka tak
bisa lagi melawan. Uus yang jadi tameng mereka sudah tak dapat diandalkan lagi.
“Bersiaplah!!!” Keempatnya memejamkan mata. Dorr
dorr dorr! Suara senapan meletus nyaring tak beraturan, sepertinya sang
penembak sedang melakukan aksinya dengan membabi buta, darah segar muncrat tak
karuan dari tubuh si korban. Uus yang sedari tadi berada di barisan paling
depan tersentak ketika menyadari dirinya dan ketiga kawannya tak mendapat
goresan sedikitpun, padahal ia yakin senapan itu mengarah kepada mereka
berempat.
“Kau tak apa-apakan?” Tanya Amin kepada Karti.
“Aku baik-baik saja.” Jawab Karti tersipu malu.
“Hei! Hei! Kenapa yang kau tanya hanya Karti
saja?” Sindir Tri yang diikuti gelak tawa dari yang lain dan membuat pipi Karti
dan Amin semakin merona merah.
“Hehehe, iya maaf. Kalian tidak apa-apakan?”
“Sudah, lupakan saja!” Jawab Isah ketus.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Uus.
“Ketika mereka bersiap menembak kalian, aku
menembak mereka terlebih dahulu. Mereka kalah cepat denganku.”
“Terima kasih ya.” Ucap Karti sambil tersenyum.
Lima
orang itu kemudian berjalan pulang membawa rekaman bersejarah di tangan mereka
sambil tersenyum puas. Dua orang diantara mereka saling menautkan tangan.
“Merdeka...! Merdeka...! Merdeka...!” Seru
mereka kompak.
Komentar
Posting Komentar